Translate

Jumat, 22 Mei 2015

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DAN BEHAVIORISTIK



A.      TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK

Pada bagian ini dikaji tentang pandangan konstruktivistik terhadap proses belajar dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran. Pembahasan diarahkan pada hal-hal seperti, karakteristik manusia masa depan yang diharapkan, konstruksi pengetahuan, dan proses belajar menurut teori konstruktivistis. Kajian diakhiri dengan memaparkan perbandingan pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik.

1.        Karakteristik  Manusia Masa Depan yang Diharapkan
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses (to) learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, bearti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, bearti disamping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan diatas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif didalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa didalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik disamping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990)
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik diatas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.

2.        Konstruksi Pengetahuan
Untuk memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
Apa pengetahuan itu? Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kunstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.

Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan inderanya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungannya, misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah, mambau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
a.         Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
b.        Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
c.         Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.

Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.

3.        Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melaui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring of  knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..”. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-Belajar). Menurut pandangan konstrktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru hanya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belaajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
a.         Menumbuhkan kemandiriran dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
b.        Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
c.         Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasinya belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih cepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.

4.        Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti belajar yang sesungguhnya.Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi diantara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran diatas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut:
No.
Pembelajaran tradisional
Pembelajaran konstruktivistik
1.
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar.
Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
2.
Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
3.
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4.
Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5.
Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.
Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6.
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar
Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group proses.



























Karakteristik pembelajaran yang harus dilakukan adalah:
a.    Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah diterapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
b.    Menempatkan siswa sebaagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
c.    Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat macam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
d.   Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar di pahami, tidak teratur, dan tidak mudah di kelola.
Kelebihan proses pembelajaran konstruktivistik:
a.    Kelebihan dalam proses pembelajaran konstruktivistik siswa dituntut untuk bisa berfikir aktif dalam belajar.
b.    Kelebihan konstruktivistik dalam pembelajaran bisa adanya group
c.    Pembelajaran terjadi lebih kepada ide-ide dari siswa itu sendiri
Kekurangannya
a.    Kekurangan apabila ada siswa yang pasif pembelajaran konstruktivistik ini tidak cocok untuk siswa pasif
b.    Siswa belajar secara konsep dasar tidak pada ketrampilan dari siswa itu sendiri
c.    Dalam pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada


B.       TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

1.        Pengartian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik

Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adannya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar metupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuanya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseoran dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitrung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunyapun sudah mengajarkanya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekan pehitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karna ia belum dapat menunjukan suatu perubahan peilaku sebagai hasil belajar.

Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan kelluaran atau output yang berupa respon. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk menbantu belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa saja yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan kerena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuan, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidakny perubahab tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang juga dianggap penting penting oleh aliran behavioriatik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulny respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila  penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, bila peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru meningkatkan aktifitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinga respon.

Tokoh-tokoh aliran beavioristik diantaranya adalah Thorndike, Watson, Carlk Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Pada dasarnya para penganut aliran bhavioristik setuju dengan pengertian belajar di atas, namun ada perbedaan beberapa pendapat diantara mereka.

2.        Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah perkembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan modal hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila berikan reinforcemnt, dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yanag sangat penting dalam pembelajarn di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyalenggaran pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Apabila teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dai beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tidak berubah. Pengetahuan telah tersetruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedang mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melaluai proses berfikir yang dapat dianalisis dan dipilih, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berfikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada didunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikatagorikan sebagai kesalahan yang perlu diukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikatagorikan sebagai bentuk  prilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang harus diperilakukan sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar dari siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedang belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual. Berikut contoh-contohnya:
a.         Dalam pelajaran bahasa inggris pada usia pra sekolah dan awal sekolah dasar

I           : Aku               You     : Kamu            We       : Kita
They    : Mereka          He       : Dia (lk)          She      : Dia (pr)
It          : kata ganti Benda tunggal

1)   Numbers
1 (one)                     11 (eleven)                  21 (twenty one)
2 (two)                    12 (twelve)                  30 (thirty)
3 (three)                  13 (thirteen)                31 (thirty one)
4 (four)                    14 (fourteen)               40 (forty)
5 (five)                    15 (fifteen)                  50 (fifty)
6 (six)                      16 (sixteen)                 60 (sixty)
7 (seven)                 17 (seventeen)             70 (seventy)
8 (eight)                  18 (eighteen)               80 (eighty)
9 (nine)                    19 (nineteen)               90 (ninety)
10 (ten)                   20 (twenty)                 100 (one hundred)

2)   Kata Sifat
Diligent       : Rajin                          Lazy                : Malas
Beautifut     : Cantik                       Handsome       : Ganteng
Ugly            : Jelek                          Vlever             : Pandai
Smart          : Pintar                         Stupid             : Bodoh
Poor            : Miskin                       Rich                 : Kaya
Careful        : Hati-hati                    Careless           : Ceroboh
Long           : Panjang                     Short               : Pendek
Old              : Tua                            Young             : Muda

3)   Kata Kerja
Pull              : Menarik                     Push                : Mendorong
Sleep           : Tidur                         Getup              : Bangun
Clean           : Membersihkan           Sweep             : Menyapu
Water          : Minum                       Cook               : Masak
Boil             : Merebus                    Fry                   : Menggoreng
Take abath  : Mandi                        Take arest        : Istirahat
Kick            : Menendang               Read                : Membaca
Write           : Menulis                     Speak              : Berbicara
Di awal pembelajaran Bahasa Inggris ini seorang guru baiknya memperhatikan perkembangan siswanya, karana jika dari awal siswa merespon baik dan mendapatkan hasil yang baik dalam awal pembelajaran maka ditingkat-tingkat pembelajaran yang lebih lanjut siswa akan dapat hasil yang baik, sebaliknya jika dari awal pembelajaran saja siswa sudah menunjukan hasil yang buruk maka siswapun akan mendapatkan kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu, perhatian guru terhadap siswa di sini sangat penting. Contoh pembelajaran yang bisa diambil dari contoh pelajaran di atas antara lain:
a)        Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat itu termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal siawa.
Seorang guru wajib mengenal karakteristik murid-muridnya juga daya tangkap murid-muridnya dalam pembelajaran yang diberikan seperti di atas.
b)        Memberikan stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas.
Di dalam pelajaran yang saya berikan di atas guru bisa memberikan perhatian pada siswa berupa memberikan tugas menghafal dengan tuntutan siswa-siswa nantinya maju ke depan dan diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang tugas-tugas hafalan itu sendiri dan untuk menambah semangat siswa, guru bisa memberikan nilai bagi siswa yang hafal lebih banyak dan siswa yang kurang hafal guru bisa memberikan teguran atau diberikan tugas-tugas agar bisa belajar lagi di rumah. Dalam pelajaran bahasa inggris di atas guru juga bisa membuat kuis atau permainan agar siswa bisa lebih semangat dalam belajar, misalnya guru membuat beberapa kelompok dari murid yang ada kemudian dari tiap kelompok wajib menunjuk satu anggotanya untuk memperagakan soal-soal yang ada di atas sesuai perintah guru kemudian teman-temannya menjawab apa yang diperagakan oleh temannya itu bahasa inggris apabila teman-temannya tidak bisa menjawab maka bisa dijawab kelompok lain jadi jika mereka tidak bisa menjawab nilai akan diambil kelompok lain, dengan begitu siswa akan berusaha berfikir lebih keras untuk mengingat.
c)        Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
Jika ada siswa yang bertanya guru harus bisa menjawab dsn menjelaskannya hingga siswa bener-benar mengerti, dan bila ada siswa yang kurang mengerti atau kurang aktif guru perlu memberikan pertanyaan-pertnyaan untuk memaksa siswa aktif di kalas.
d)       Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman yang bersifat mendidik.
Jika di dalam kalas atau di dalam pelajaran itu siswa ada yang kurang memperhatikan atau mengabaikan pelajaran guru, guru bisa memberikan hukuman agar siswa jerah dan tidak berani mengulanginya lagi juga lebih memperhatikan guru saat guru mengajar.
e)        Evaluasi hasil belajar.
Setelah guru melakukan langkah-langkah pembelajaran, guru hendaknya melakukan evaluasi tentang bagaimana hasil belajar siswanya untuk mengetahui seberapa jauh siswa dapat mengetahui dan memahami pembelajaran yang telah diberikan. jika hasil evaluasi belajar siswa dapat merespon dengan baik dan menjadikan siswa merasa nyaman dalam belajar maka pembelajaran dianggap berhasil,tetapi sebaliknya jika hasil evaluasi belajar siswa tidak dapat merespon dengan baik dengan apa yang telah diberikan dan siswa tidak bisa nyaman dalam belajar,maka pembelajaran dianggap gagal yang berakibat siswa kurang aktif  dan hasil belajar atau nilai yang kurang memuaskan.

C.      TEORI YANG DITERAPKAN DI INDONESIA
1.        Sekilas tentang Hubungan Antara Teori Belajar dengan Model Pembelajaran.
Secara ontologi, ilmu sosial meliputi banyak bidang sehingga memiliki jangkauan materi yang luas. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial, antara lain:
a.         Antropologi, yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu.
b.        Ekonomi, yang mempelajari produksi dan pembagian kekayaan dalam masyarakat.
c.         Geografi, yang mempelajari lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi.
d.         Hukum, yang mempelajari sistem aturan yang telah dilembagakan.
e.         Linguistik, yang mempelajari aspek kognitif dan sosial dari bahasa.
f.          Pendidikan, yang mempelajari masalah yang berkaitan dengan belajar, pembelajaran, serta pembentukan karakter dan moral.
g.        Politik, yang mempelajari pemerintahan sekelompok manusia (termasuk negara).
h.        Psikologi, yang mempelajari tingkah laku dan proses mental.
i.           Sejarah, yang mempelajari masa lalu yang berhubungan dengan umat manusia.
j.          Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan hubungan antar manusia didalamnya.
Ilmu sosial masih berupa ilmu murni, peleburan ilmu sosial menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial pada dasarnya bertujuan untuk mempelajari ilmu sosial itu sendiri, namun diperuntukkan bagi dunia pendidikan. Meskipun demikian, peleburan istilah tersebut tidak menjadikan cakupan materi yang dipelajari dalam IPS menjadi sempit. Sama halnya dengan ilmu sosial, IPS pun memiliki jangkauan materi yang sama luasnya dengan ilmu sosial.
Melihat keluasan cakupan materi dalam pembelajaran IPS, maka tidak ada satu teori belajar pun yang paling ideal untuk segala situasi dan untuk semua bidang keilmuan yang tercakup dalam IPS. Teori pembelajaran adalah teori yang menawarkan panduan ekplisit bagaimana membantu orang belajar dan berkembang lebih baik. Jenis belajar dan pengembangan mencakup aspek kognitif, emosional, sosial, fisikal, dan spiritual. Aplikasi teori belajar dalam kegiatan pembelajaran  IPS tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Aplikasi teori belajar dalam kegiatan pembelajaran IPS pada prakteknya merupakan perpaduan dari beberapa aplikasi teori belajar. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang tidak hanya out come – oriented, tepai pembelajaran yang menekankan pada proses. Berpedoman pada pembelajaran yang menekankan proses sama artinya dengan memastikan agar proses berjalan secara maksimal, dengan mengoptimalkan peranan guru sebagai fasilitator dan mengoptimalkan kemampuan peserta didik. Penekanan pada proses justru akan memberikan hasil yang diharapkan. Hasil pembelajaran akan sesuai yang diharapkan, disamping tercapainya tujuan pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya.
Teori belajar erat kaitannya dengan model pembelajaran. Aplikasi teori belajar dapat digunakan untuk merancang dan menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan situasi belajar. Kondisi dan situasi belajar ini tentu memiliki indikator sebagai aspek-aspek utama pembelajaran, seperti jenis pembelajaran IPS yang hendak dipelajari, materi pembelajaran, tujuan pembelajaran, karakter kelas, dan lain sebagainya.
Model pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran IPS sebaiknya mampu mencakup lima unsur pembelajaran berikut ini:
a.         problem-centered, artinya pembelajaran dilaksanakan dalam rangka memecahkan permasalahan dunia nyata di sekitar pembelajar;
b.        activation, artinya pembelajaran dikembangkan relevan dengan pengalaman dan mengaktifkan pengetahuan mahasiswa yang telah dimiliki sebelumnya;
c.         demonstration, artinya pembelajaran yang dikembangkan untuk mempertunjukkan apa yang akan dipelajari bukannya melulu menceritakan informasi tentang apa yang akan dipelajari;
d.        application, artinya pembelajaran yang dikembangkan untuk menggunakan ketrampilan atau pengetahuan yang baru mereka untuk memecahkan permasalahan; dan
e.         integration, pembelajaran yang dikembangkan mengintegrasikan ketrampilan atau pengetahuan yang baru ke dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.

Berdasarkan lima unsur cakupan pembelajaran yang sebaiknya ada dalam proses pembelajaran IPS, maka penggunaan model pembelajaran yang relevan dan inovatif perlu dipraktekan di kelas. Namun demikian, mengingat adanya batasan waktu dalam pembelajaran di kelas, proses pembelajaran perlu dirancang sedemikian rupa agar mampu memasukkan unsur-unsur tersebut. Bilamana kelima unsur tersebut tidak dapat diaplikasikan dalam satu kali tatap muka pembelajaran, guru bisa membuat perancangan pembelajaran yang memasukkan unsur-unsur tersebut secara parsial. Cara lain agar kelima unsur tersebut dapat menjadi bagian dari pengalaman belajar peserta didik adalah merancang pembelajaran sedemikian rupa agar pengalaman belajar yang diperoleh siswa saat pembelajaran di kelas dapat diaplikasikan atau memiliki andil positif dalam kehidupan siswa sehari-hari. Merencanakan, menyusun, dan mempraktekkan model pembelajaran di kelas tentu tidak lepas dari aplikasi teori belajar sebagai fondasinya.

2.        Tinjauan Sederhana Mengenai Teori Belajar Tententu dalam Aplikasi Pembelajaran IPS.

Pada dasarnya semua teori belajar sangat dibutuhkan dalam aplikasi pembelajaran IPS di sekolah. Hanya saja, proporsi aplikasi setiap teori tentu saja berbeda. Penulis memiliki pandangan bahwa dalam aplikasi pembelajaran IPS, sebaiknya penerapan teori belajar humanistik dijadikan sebagai landasan dalam setiap pelaksanaan pembelajaran. Pada bagian ini akan dibahas tersendiri. Pelaksanaan pembelajaran yang baik tidak boleh berpandangan sempit hanya dengan membatasi penggunaan satu teori belajar saja. Pada bagian ini akan dibahas mengenai penggunaan teori belajar yang relevan dengan aplikasi pembelajaran IPS di kelas.

Perlu digarisbawahi bahwa aplikasi teori humanistik memang menjadi landasan, sedangkan teori-teori yang lain sebagai penyerta. Namun demikian, meskipun disebut sebagai penyerta tidak berarti teori-teori selain humanistik diposisikan atau dianggap kurang penting kedudukannya dalam pembelajaran IPS yang diselenggarakan.

3.        Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran IPS.

Pada bagian atas, telah disebutkan bahwa sebaiknya teori belajar humanistik dijadikan sebagai landasan dalam setiap pembelajaran IPS di kelas. Teori humanistik sebagai landasan maksudnya, dalam setiap proses pembelajaran yang diselenggarakan, guru harus menerapkan teori ini dan menjadikannya sebagai dasar berpijak dalam penyusunan rencana pembelajaran, proses maupun praktek pembelajaran, sampai pada tahap evaluasi pembelajaran.
Hal ini didasarkan pada adanya prinsip-prinsip yang patut diterapkan dalam proses pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan prisip-prinsip ini akan memberikan pengaruh signifikan terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran tidak sebatas pada penguasaan kognisi peserta didik, tapi juga meliputi afeksi dan psikomotor. Prinsip- prinsip belajar humanistik:
a.       Manusia mempunyai belajar alami.
b.      Belajar signifikan terjadi apabila materi plajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan maksud tertentu.
c.       Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.
d.      Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil.
e.       Bila bancaman itu rendah terdapat pangalaman siswa dalam memperoleh cara.
f.       Belajar yang bermakna  diperolaeh jika siswa melakukannya.
g.      Belajar lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar.
h.      Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam.

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah:
a.         Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
b.        Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif.
c.         Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
d.        Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
e.         Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
f.         Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
g.        Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.
h.        Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku. Berikut adalah ciri-ciri guru yang baik dan kurang baik menurut Humanistik:
a.         Guru yang baik menurut teori ini adalah: guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan  pada perubahan.
b.        Sedangkan guru  yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada.

 

DAFTAR PUSTAKA
Alfonsus Sam. Resume Materi Learning Theory. Diunduh dari http://aphonkssam.blogspot.com/2012/06/resume-materi-learning-2.html, diakses pada Rabu, 31 Oktober 2012.


Dire la vérité. Teori Belajar dan Penerapannya dalam IPS. Diunduh dari  http://dire-laverite.blogspot.com/2012/03/teori-teori-belajar-dan-penerapannya.html, diakses pada 30 Desember 2012.

Halim Sani. Teori-Teori Sosial dari Ilmu-Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Integralistik. Diunduh dari http://halimsani.wordpress.com/2007/09/06/teori-teori-sosial-dari-ilmu-sosial-sekuleristik-menuju-ilmu-sosial-intergralistik/, diakses pada 29 Desember 2012.

M. Muchad. Teori Ilmu Sosial dan Hakikat Tujuan Ilmu Sosial. Diunduh dari http://muchad.com/teori-ilmu-sosial-hakikat-tujuan-ilmu-sosial-dasar.html, diakses pada 29 Desember 2012.

Supri Hartanto. Pembedaan IPA dan IPS dalam Perspektif Ontologi dan Epistemologi. Diunduh dari http://mkalahmu.wordpress.com/2010/11/03/perbedaan-ipa-dan-ips-epistemologi.html, diakses pada 29 Desember 2012.


Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Nilai
Pada Mata Kuliah Pembelajaran PKN di SD
Dosen: Dirgantara Wicaksono, M.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar